Selasa, 24 Maret 2020



TUGAS SOFTSKILL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN# NO. 2

Asal Usul Demografi Indonesia

Sejumlah teori mengenai asal-usul orang Indonesia dan Melayu menyebut bahwa nenek moyang orang Indonesia dan Melayu adalah dari Yunnan, sebuah negeri di China bagian selatan. Bangsa Yunnan termasuk kelompok suku Mongoloid Selatan. Sebagian dari mereka bermigrasi ke Taiwan dan sebagian lagi kemudian melanjutkan migrasi ke Asia Tenggara.  Mereka inilah yang dijuluki sebagai orang-orang Austronesia. Selain Mongoloid Selatan ada kelompok suku Mongoloid Utara yang terdiri dari orang-orang China, Korea, dan Jepang saat ini. Demikianlah Paul Michel Munoz, seorang sejarawan asal Perancis memberikan analisisnya dalam buku Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (edisi terjemah Bahasa Indonesia: Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia)
Migrasi suku-suku Mongoloid Selatan menuju ke arah Kepulauan Indonesia dan Melayu diperkirakan terjadi pada 2500 Sebelum Masehi (SM), melalui jalur Taiwan kemudian berlanjut ke Filipina. Dari Filipina, gelombang imigrasi terbagi menjadi dua, yaitu ke Sulawesi-Kalimantan, dan ke Maluku. Kelompok yang bergerak ke jalur Kalimantan-Sulawesi selanjutnya menyebar ke Vietnam, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Jawa, Bali, dan Madagaskar. 
Kelompok yang bergerak ke jalur Maluku selanjutnya menuju ke Papua, Papua Nugini, Fiji dan kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara. Disebutkan pula perjalanan mereka ada yang mencapai wilayah Selandia Baru.
Berdasarkan teori tersebut, bangsa Indonesia dan Melayu yang saat ini mendiami Indonesia dan sebagian besar wilayah ASEAN adalah warga pendatang. Skenario ini mirip dengan warga Amerika dan Australia, yang asal muasalnya adalah orang Eropa, kemudian bermigrasi ke dua benua tersebut. Yang membedakan hanyalah waktu terjadinya migrasi. Orang Melayu bermigrasi dari tempat asalnya di China bagian selatan ke Asia Tenggara pada ribuan tahun Sebelum Masehi, sedangkan orang Eropa ke Amerika dan Australia melakukannya mulai abad 15 Masehi (1492) yaitu ketika Christoper Columbus mendarat di Kepulauan Karibia.
Sedikit tentang Karibia, adalah kepulauan yang terletak antara Amerika Utara dan Amerika Selatan. Di Kepulauan Karibia terdapat 30 negara seperti Kuba, Haiti, Jamaika, dan lain-lain. Kepulauan ini pula adalah jajaran pulau-pulau yang menjadi salah satu sisi Segitiga Bermuda (Wikipedia).
Sama seperti riwayat Amerikaa dan Australia, ketika orang-orang Austronesia bermigrasi ke pulau-pulau Nusantara, saat itu telah ada penduduk yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Munoz menyebutkan bahwa mereka yang telah lebih dulu mendiami Nusantara terdiri dari tiga kelompok, yaitu Veddoid, Negrito, dan Papua-Melanesia.
Kelompok Veddoid terdiri dari orang-orang nomaden yang bertahan hidup dengan berburu dan mencari ikan. Komunitas Veddoid bertahan hingga saat ini, yaitu seperti suku-suku Kubu dan Sakai di Sumatera, dan Toala di Sulawesi.
Kelompok Negrito bernasib serupa dengan Veddoid, masih bertahan di Kepulauan Nusantara bagian barat dan Semenanjung Malaysia, membentuk sekelompok kecil komunitas pemburu dan pencari ikan.
Kelompok Papua-Melanesia atau disebut juga Austro-Melanesia, saat ini di era Indonesia modern menjadi kelompok dominan di wilayah timur Indonesia.
Itulah sekilas sejarah asal muasal penduduk Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya, yang sejak 4500 tahun lalu bermigrasi dari negeri asalnya nun jauh di China bagian selatan.
"Penduduk Asli Bumi"
Jika menelusur ulang sejarah Asia Tenggara dan Indonesia tersebut, sesungguhnya mereka yang disebut sebagai bangsa pribumi, ternyata adalah bangsa pendatang juga. Bahkan boleh dikata, kelompok Veddoid, Negrito, dan Papua-Melanesia, yang telah mendiami Nusantara sebelum kelompok Austronesia datang, adalah warga pendatang.  Hal ini disandarkan pada silsilah manusia dari Adam dan Hawa, yang konon awal turunnya Adam dan Hawa ke bumi adalah di sebuah tempat di Srilangka.  Semua manusia adalah anak cucu Adam, dan sebagian dari mereka kemudian mencapai daratan Asia Tenggara dan Nusantara dan berdiam di tempat tersebut.
Kesadaran bahwa manusia adalah anak cucu Adam, dari bangsa atau suku apapun dan tinggal di manapun, menjadi kesadaran fundamental yang seharusnya dimiliki untuk membangun kedekatan dan kebersamaan. Istilah "penduduk asli" akan lebih tepat jika dimaknai sebagai "penduduk asli bumi". 
Tuhan menciptakan bumi untuk manusia dengan segala amanah yang harus ditunaikan oleh manusia terhadap bumi. Selain amanah menjaga kelestarian bumi, amanah utama tentu saja membangun kemakmuran bersama di bumi untuk semua manusia. Kemakmuran dan kesejahteraan hakiki adalah jika dirasakan oleh semua penduduk bumi. 
Menjadi keliru jika kemakmuran dan kesejahteraan itu hanya terbatas untuk dinikmati kelompok tertentu dengan mengabaikan kelompok lain, bahkan berusaha agar kelompok lain selalu dalam kondisi kekurangan dan keterbelakangan. Yang dimaksud kelompok di sini bahkan mencakup lingkup yang luas bangsa dan negara atau yang lebih luas dari itu.
Kesadaran sebagai "penduduk asli bumi" harus dibarengi dengan kesadaran untuk membuat semua "penduduk asli bumi" tersebut mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama. 
Keberadaan sebagai "penduduk asli bumi" menjadi dasar bahwa seseorang memiliki hak untuk berdiam dan mengelola bagian bumi manapun, sedangkan konsep "kemakmuran bersama seluruh bumi" adalah kesadaran akan kewajiban berbagi untuk sesama dan merupakan amanah dari Tuhan.
Apakah dengan demikian dalam konteks negara-negara bangsa saat ini urusan dalam negeri negara-negara dianggap tidak ada lagi? Tentu saja tidak demikian memahaminya. Di zaman modern ini telah ada kesepakatan tentang batas-betas kedaulatan negara, maka atas kedaulatan tersebut harus saling harga-menghargai. 
Tinggal ditambah dengan pemahaman bahwa Bangsa Bumi adalah satu bangsa, yaitu Bangsa Manusia, yang salah satu misi bersamanya adalah mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bumi secara bersama-sama pula.
Sebagai contoh, melimpahnya sumberdaya alam hakekatnya adalah  anugerah Tuhan bagi seluruh manusia dan makhluk di bumi. Demikian pula Sumber Daya Manusia serta kemajuan peradaban, budaya, dan teknologi, hakekatnya adalah anugerah Tuhan bagi selueuh manusia dan makhluk di bumi. 
Antara kedua penerima anugerah tersebut sudah seharusnya saling memberi secara adil dan saling berusaha memakmurkan dan mensejahterakan orang lain untuk mecapai kemajuan bersama, bukan dengan saling merugikan orang lain. Indah sekali bumi ini jika sikap selalu berbagi menjadi sikap yang diutamakan.
Namun realita yang terjadi tidak demikian, keinginan untuk memperkaya diri, anak turun, dan teman, lebih menguasai dan kemudian tidak peduli dengan nasib orang lain. Barangkali itulah mengapa terjadi carut marut dunia saat ini. 
Sudah seharusnya semua manusia kembali kepada misi utama manusia di bumi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama-sama seluruh bumi.

1. Pendatang pertama Nusantara, Melanisia
Menurut teori sejarah, yang pertama datang dan tinggal di tanah nusantara sebenarnya adalah homo erectus yang datang sekitar 1,5 hingga 1,7 juta tahun yang lalu. Namun kelompok-kelompok mereka akhirnya punah kira-kira pada 100 ribu tahun yang lalu. Selanjutnya, barulah homo sapiens atau manusia modern memasuki nusantara.

Area Melanisia
Manusia modern berasal dari Afrika secara besar-besaran melakukan migrasi dalam dua gelombang. Gelombang pertama melakukan perjalanan dari Afrika ke selat kecil yang memisahkan Ethiopia dan Yemen, kemudian terus ke India bagian selatan, Paparan Sunda, hingga ke Paparan Sahul (Papua, Australia). Saat itu dataran di nusantara masih menyatu sehingga kelompok ini melakukan perjalanan dengan berjalan kaki.
Manusia pertama yang datang ke nusantara ini memiliki ciri-ciri Melanosoid atau golongan etnis Negrito, yaitu seperti orang Papua dan Aborigin. Para manusia ini menempati nusantara hingga zaman es berakhir dan es mencair menjadi lautan yang memisahkan pulau dan terbentuklah Indonesia seperti sekarang ini. Suku-suku dengan etnis Negrito yang ada di Indonesia ini antara lain Suku Dani, Bauzi, Asmat, dan Amungme.

Suku Dani
Jadi, jika ditanya siapakah orang ‘pribumi’ pertama yang menempati Nusantara, maka ya jawabannya adalah orang-orang Melanisia ini. Bahkan diduga kuat merekalah penyebab hilangnya Homo erectus di Paparan Sunda. Lalu, alasan mengapa mereka cuma ada di pedalaman Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya adalah karena datangnya rombongan manusia modern gelombang berikutnya secara besar-besaran dengan perahu yang cukup canggih di zamannya. Makanya orang Melanisia ini tidak ada di wilayah Indonesia bagian barat.

2. Gelombang Kedatangan Kedua (Melayu-Austronesia)
Gelombang kedua manusia modern yang datang ke Indonesia adalah rumpun Melayu dan Austronesia. Rumpun ini mencakup suku Melayu, Formosan, serta Polynesia. Rumpun ini memiliki ciri-ciri wajah bulat, hidung lebar, rambut hitam tebal sedikit bergelombang dan kulit kecoklatan.


Fitur wajah Austronesia

Kelompok Austronesia ini memiliki teknologi maritim yang lebih canggih untuk masa itu yaitu menggunakan kano bercadik. Mereka juga sudah memiliki teknologi irigasi yang lebih maju seperti sistem sengkedan atau terasering. Dengan kemampuan yang lebih maju, maka wajar jika rumpun Melayu Austronesia ini akhirnya mampu menjelajah dan menguasai wilayah Nusantara.
Rumpun Melayu yang masuk ke Nusantara terbagi menjadi dua yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Proto Melayu adalah mereka yang sudah berhasil menciptakan masyarakat yang stabil sehingga tidak lagi melakukan mobilisasi penduduk. Karena itu, mereka menetap di tempat terpencil dan jauh dari golongan lain sehingga sangat kecil kemungkinan terjadi percampuran gen. Golongan Proto Melayu ini misalnya adalah suku Nias dan Dayak.

Suku Dayak

Selanjutnya Deutero Melayu masih perlu berpindah-pindah tempat dan berinteraksi dengan kelompok lain di sekitarnya karena alasan tertentu seperti kondisi geografis, iklim, bencana, dan sebagainya. Akibatnya, kemungkinan percampuran budaya, bahasa dan gen juga menjadi lebih tinggi. Suku-suku yang termasuk Deutero Melayu antara lain adalah Minangkabau, Jawa, Banjar, Bugis, Makassar, Bali, Lombok, Batak, Aceh Madura, Minahasa, dan puluhan suku-suku lainnya.
Dalam masa peralihan melanesia ke Austronesia hingga zaman manusia mengenal tulisan, jejak kebudayaan maupun ciri fisik masyarakat Melanesia sudah tidak ada lagi di pulau-pulau bagian barat Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, maupun Lombok. Sementara di wilayah Indonesia Timur, masih terekam gen Melanesia yang sudah bercampur dengan rumpun Austronesia. Sedangkan suku Melanesia yang masih asli adalah mereka yang menetap tanpa gangguan di pedalaman Papua dan masih setia dengan kehidupan dan kebijaksanaan lokal seperti berburu binatang, berkebun dalam skala kecil, serta hidup dalam masyarakat kesukuan.

3. Kedatangan Sino-Tibetan, Dravida, dan Semit
Seribu tahun setelah kedatangan etnis Melayu, peradaban Austronesia juga berkembang pesat dan melakukan interaksi dengan pedagang dari kebudayaan lainnya termasuk Dong Son dari Vietnam. Interaksi perdagangan terus berkembang di awal abad Masehi sehingga masuklah peradaban Dravida, Sino-Tibet, dan Semit.

Fitur wajah Sino Tibetan

Pada era modern, Dravida adalah mereka yang kita kenal dengan India, Sino-Tibet adalah yang kita kenal dengan Tionghoa, dan Semit adalah yang berasal dari Asia Tengah seperti Arab dan Yahudi. Bangsa Dravida memulai perjalanan ke Nusantara pada abad 1 Masehi, Sino-Tibetan pada awal abad 3 Masehi setelah dinasti Han runtuh, dan Semit mulai masuk ke Sumatera pada abad 7 Masehi.
  

Fitur wajah Dravida

Kedatangan bangsa Sino-Tibetan ke nusantara ditandai dengan datangnya biksu Fa Hsien pada awal abad 5 Masehi dan I Tsing pada 8 Masehi. Gelombang kedatangan pertama cukup besar datang pada masa pemerintahan Majapahit ketika Wikramawardhana memperbolehkan semua orang dari berbagai agama maupun ras untuk berdagang dan menyebarkan agama di Majapahit.
Etnis Dravida datang secara bertahap seiring dengan semakin berkembangnya perdagangan di Nusantara. Pengaruh budaya Dravida (India) ini juga terlihat jelas dengan corak kerajaan Hindu di awal abad masehi. Sementara itu, etnis Semit datang pertama kali pada abad 7 Masehi untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Sama dengan Dravida dan Sino-Tibet, penduduk etnis Semit juga banyak yang memiliki menetap dan membaur dengan masyarakat lokal sehingga menambah keberagaman nusantara.

Fitur wajah Semit

Nah, bangsa-bangsa ini tidak hanya datang ke Nusantara untuk berdagang, tapi juga memiliki peran sosial sebagai rohaniwan. Bahkan tidak jarang yang memutuskan untuk menetap dan menikah dengan orang lokal. Jadi, sejak abad pertama Masehi, Nusantara bukanlah ekslusif milik bangsa Austronesia atau Melanesia saja. Sehingga kalau ditanya soal siapakah penduduk ‘pribumi’ Nusantara, tentu cukup sulit menjawabnya. Karena yang pertama ada di bumi Nusantara justru homo erectus.
Jika definisi pribumi merujuk pada manusia modern pertama yang datang ke Nusantara, maka jawabannya adalah rumpun Melanesia atau yang sekarang merupakan suku-suku di Papua. Jadi, pada hakikatnya nenek moyang semua manusia yang ada di Indonesia itu adalah pendatang. Bumi Indonesia dulunya adalah tanah tak bertuan sampai para pendatang mengklaim tanah tersebut milik mereka dan melewati kekuasaan para penjajah hingga kini bisa menjadi negara Indonesia yang multikultur. Jadi, tidak tepat rasanya jika sampai sekarang kita masih saja membeda-bedakan satu sama lain berdasarkan ras atau etnis mereka.


                                    Salsabila Tri Gumelar/ 2IB02/ 16418497

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Jurnal (Penerapan Multimedia di bidang Teknik Elektro)

"Penerapan Semi-Immersion Virtual Reality Untuk Simulasi Instalasi Transmisi Listrik" Penulis: Muhammad Fadli Prathama, Andi Dahro...