TUGAS SOFTSKILL : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN# NO. 2
Asal Usul Demografi Indonesia
Sejumlah teori mengenai asal-usul orang Indonesia dan Melayu menyebut bahwa nenek
moyang orang Indonesia dan Melayu adalah dari Yunnan, sebuah negeri di China
bagian selatan. Bangsa Yunnan termasuk kelompok suku Mongoloid Selatan.
Sebagian dari mereka bermigrasi ke Taiwan dan sebagian lagi kemudian
melanjutkan migrasi ke Asia Tenggara. Mereka inilah yang dijuluki sebagai
orang-orang Austronesia. Selain Mongoloid Selatan ada kelompok suku Mongoloid
Utara yang terdiri dari orang-orang China, Korea, dan Jepang saat ini. Demikianlah
Paul Michel Munoz, seorang sejarawan asal Perancis memberikan analisisnya dalam
buku Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (edisi
terjemah Bahasa Indonesia: Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan
Semenanjung Malaysia)
Migrasi suku-suku Mongoloid Selatan menuju ke
arah Kepulauan Indonesia dan Melayu diperkirakan terjadi pada 2500 Sebelum
Masehi (SM), melalui jalur Taiwan kemudian berlanjut ke Filipina. Dari
Filipina, gelombang imigrasi terbagi menjadi dua, yaitu ke Sulawesi-Kalimantan,
dan ke Maluku. Kelompok yang bergerak ke jalur Kalimantan-Sulawesi selanjutnya
menyebar ke Vietnam, Sumatera, Semenanjung Malaysia, Jawa, Bali, dan
Madagaskar.
Kelompok yang bergerak ke jalur Maluku
selanjutnya menuju ke Papua, Papua Nugini, Fiji dan kepulauan Sunda Kecil atau
Nusa Tenggara. Disebutkan pula perjalanan mereka ada yang mencapai wilayah
Selandia Baru.
Berdasarkan teori tersebut, bangsa Indonesia
dan Melayu yang saat ini mendiami Indonesia dan sebagian besar wilayah ASEAN
adalah warga pendatang. Skenario ini mirip dengan warga Amerika dan Australia,
yang asal muasalnya adalah orang Eropa, kemudian bermigrasi ke dua benua
tersebut. Yang membedakan hanyalah waktu terjadinya migrasi. Orang Melayu
bermigrasi dari tempat asalnya di China bagian selatan ke Asia Tenggara pada
ribuan tahun Sebelum Masehi, sedangkan orang Eropa ke Amerika dan Australia
melakukannya mulai abad 15 Masehi (1492) yaitu ketika Christoper Columbus
mendarat di Kepulauan Karibia.
Sedikit tentang Karibia, adalah kepulauan
yang terletak antara Amerika Utara dan Amerika Selatan. Di Kepulauan Karibia
terdapat 30 negara seperti Kuba, Haiti, Jamaika, dan lain-lain. Kepulauan ini
pula adalah jajaran pulau-pulau yang menjadi salah satu sisi Segitiga Bermuda
(Wikipedia).
Sama seperti riwayat Amerikaa dan Australia,
ketika orang-orang Austronesia bermigrasi ke pulau-pulau Nusantara, saat itu
telah ada penduduk yang mendiami pulau-pulau di Nusantara. Munoz menyebutkan
bahwa mereka yang telah lebih dulu mendiami Nusantara terdiri dari tiga
kelompok, yaitu Veddoid, Negrito, dan Papua-Melanesia.
Kelompok Veddoid terdiri dari
orang-orang nomaden yang bertahan hidup dengan berburu dan mencari ikan.
Komunitas Veddoid bertahan hingga saat ini, yaitu seperti suku-suku Kubu dan
Sakai di Sumatera, dan Toala di Sulawesi.
Kelompok Negrito bernasib serupa
dengan Veddoid, masih bertahan di Kepulauan Nusantara bagian barat dan
Semenanjung Malaysia, membentuk sekelompok kecil komunitas pemburu dan pencari
ikan.
Kelompok Papua-Melanesia atau
disebut juga Austro-Melanesia, saat ini di era Indonesia modern menjadi
kelompok dominan di wilayah timur Indonesia.
Itulah sekilas sejarah asal muasal
penduduk Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya, yang sejak 4500 tahun
lalu bermigrasi dari negeri asalnya nun jauh di China bagian selatan.
Jika menelusur ulang sejarah Asia Tenggara
dan Indonesia tersebut, sesungguhnya mereka yang disebut sebagai bangsa pribumi,
ternyata adalah bangsa pendatang juga. Bahkan boleh dikata, kelompok Veddoid,
Negrito, dan Papua-Melanesia, yang telah mendiami Nusantara sebelum kelompok
Austronesia datang, adalah warga pendatang. Hal ini disandarkan pada
silsilah manusia dari Adam dan Hawa, yang konon awal turunnya Adam dan Hawa ke
bumi adalah di sebuah tempat di Srilangka. Semua manusia adalah anak cucu
Adam, dan sebagian dari mereka kemudian mencapai daratan Asia Tenggara dan
Nusantara dan berdiam di tempat tersebut.
Kesadaran bahwa manusia adalah anak cucu
Adam, dari bangsa atau suku apapun dan tinggal di manapun, menjadi kesadaran
fundamental yang seharusnya dimiliki untuk membangun kedekatan dan kebersamaan.
Istilah "penduduk asli" akan lebih tepat jika dimaknai
sebagai "penduduk asli bumi".
Tuhan menciptakan bumi untuk manusia dengan
segala amanah yang harus ditunaikan oleh manusia terhadap bumi. Selain amanah
menjaga kelestarian bumi, amanah utama tentu saja membangun kemakmuran bersama
di bumi untuk semua manusia. Kemakmuran dan kesejahteraan hakiki adalah jika
dirasakan oleh semua penduduk bumi.
Menjadi keliru jika kemakmuran dan
kesejahteraan itu hanya terbatas untuk dinikmati kelompok tertentu dengan
mengabaikan kelompok lain, bahkan berusaha agar kelompok lain selalu dalam
kondisi kekurangan dan keterbelakangan. Yang dimaksud kelompok di sini bahkan
mencakup lingkup yang luas bangsa dan negara atau yang lebih luas dari itu.
Kesadaran sebagai "penduduk asli
bumi" harus dibarengi dengan kesadaran untuk membuat semua "penduduk
asli bumi" tersebut mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Keberadaan sebagai "penduduk asli
bumi" menjadi dasar bahwa seseorang memiliki hak untuk berdiam dan
mengelola bagian bumi manapun, sedangkan konsep "kemakmuran bersama
seluruh bumi" adalah kesadaran akan kewajiban berbagi untuk sesama
dan merupakan amanah dari Tuhan.
Apakah dengan demikian dalam konteks
negara-negara bangsa saat ini urusan dalam negeri negara-negara dianggap tidak
ada lagi? Tentu saja tidak demikian memahaminya. Di zaman modern ini telah ada
kesepakatan tentang batas-betas kedaulatan negara, maka atas kedaulatan
tersebut harus saling harga-menghargai.
Tinggal ditambah dengan pemahaman bahwa
Bangsa Bumi adalah satu bangsa, yaitu Bangsa Manusia, yang salah satu misi
bersamanya adalah mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bumi secara
bersama-sama pula.
Sebagai contoh, melimpahnya sumberdaya alam
hakekatnya adalah anugerah Tuhan bagi seluruh manusia dan makhluk di
bumi. Demikian pula Sumber Daya Manusia serta kemajuan peradaban, budaya, dan
teknologi, hakekatnya adalah anugerah Tuhan bagi selueuh manusia dan makhluk di
bumi.
Antara kedua penerima anugerah tersebut sudah
seharusnya saling memberi secara adil dan saling berusaha memakmurkan dan
mensejahterakan orang lain untuk mecapai kemajuan bersama, bukan dengan saling
merugikan orang lain. Indah sekali bumi ini jika sikap selalu berbagi menjadi
sikap yang diutamakan.
Namun realita yang terjadi tidak demikian,
keinginan untuk memperkaya diri, anak turun, dan teman, lebih menguasai dan
kemudian tidak peduli dengan nasib orang lain. Barangkali itulah mengapa
terjadi carut marut dunia saat ini.
Sudah seharusnya semua manusia kembali kepada
misi utama manusia di bumi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
bersama-sama seluruh bumi.
1. Pendatang pertama Nusantara, Melanisia
Menurut
teori sejarah, yang pertama datang dan tinggal di tanah nusantara sebenarnya
adalah homo erectus yang datang sekitar 1,5 hingga 1,7 juta
tahun yang lalu. Namun kelompok-kelompok mereka akhirnya punah kira-kira pada
100 ribu tahun yang lalu. Selanjutnya, barulah homo sapiens atau
manusia modern memasuki nusantara.
Area Melanisia
Manusia
modern berasal dari Afrika secara besar-besaran melakukan migrasi dalam dua
gelombang. Gelombang pertama melakukan perjalanan dari Afrika ke selat kecil
yang memisahkan Ethiopia dan Yemen, kemudian terus ke India bagian selatan,
Paparan Sunda, hingga ke Paparan Sahul (Papua, Australia). Saat itu dataran di
nusantara masih menyatu sehingga kelompok ini melakukan perjalanan dengan
berjalan kaki.
Manusia
pertama yang datang ke nusantara ini memiliki ciri-ciri Melanosoid atau
golongan etnis Negrito, yaitu seperti orang Papua dan Aborigin. Para manusia
ini menempati nusantara hingga zaman es berakhir dan es mencair menjadi lautan
yang memisahkan pulau dan terbentuklah Indonesia seperti sekarang ini. Suku-suku
dengan etnis Negrito yang ada di Indonesia ini antara lain Suku Dani, Bauzi,
Asmat, dan Amungme.
Suku Dani
Jadi,
jika ditanya siapakah orang ‘pribumi’ pertama yang menempati Nusantara, maka ya
jawabannya adalah orang-orang Melanisia ini. Bahkan diduga kuat merekalah
penyebab hilangnya Homo erectus di Paparan Sunda. Lalu, alasan mengapa mereka cuma ada di
pedalaman Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya adalah karena datangnya
rombongan manusia modern gelombang berikutnya secara besar-besaran dengan
perahu yang cukup canggih di zamannya. Makanya orang Melanisia ini tidak ada di
wilayah Indonesia bagian barat.
2. Gelombang Kedatangan Kedua (Melayu-Austronesia)
Gelombang
kedua manusia modern yang datang ke Indonesia adalah rumpun Melayu dan
Austronesia. Rumpun ini mencakup suku Melayu, Formosan, serta Polynesia. Rumpun
ini memiliki ciri-ciri wajah bulat, hidung lebar, rambut hitam tebal sedikit
bergelombang dan kulit kecoklatan.
Fitur wajah
Austronesia
Kelompok
Austronesia ini memiliki teknologi maritim yang lebih canggih untuk masa itu
yaitu menggunakan kano bercadik. Mereka juga sudah memiliki teknologi irigasi
yang lebih maju seperti sistem sengkedan atau terasering. Dengan kemampuan yang
lebih maju, maka wajar jika rumpun Melayu Austronesia ini akhirnya mampu
menjelajah dan menguasai wilayah Nusantara.
Rumpun
Melayu yang masuk ke Nusantara terbagi menjadi dua yaitu Proto Melayu dan
Deutero Melayu. Proto Melayu adalah mereka yang sudah berhasil menciptakan
masyarakat yang stabil sehingga tidak lagi melakukan mobilisasi penduduk.
Karena itu, mereka menetap di tempat terpencil dan jauh dari golongan lain
sehingga sangat kecil kemungkinan terjadi percampuran gen. Golongan Proto
Melayu ini misalnya adalah suku Nias dan Dayak.
Suku Dayak
Selanjutnya
Deutero Melayu masih perlu berpindah-pindah tempat dan berinteraksi dengan
kelompok lain di sekitarnya karena alasan tertentu seperti kondisi geografis,
iklim, bencana, dan sebagainya. Akibatnya, kemungkinan percampuran budaya,
bahasa dan gen juga menjadi lebih tinggi. Suku-suku yang termasuk Deutero
Melayu antara lain adalah Minangkabau, Jawa, Banjar, Bugis, Makassar, Bali,
Lombok, Batak, Aceh Madura, Minahasa, dan puluhan suku-suku lainnya.
Dalam
masa peralihan melanesia ke Austronesia hingga zaman manusia mengenal tulisan,
jejak kebudayaan maupun ciri fisik masyarakat Melanesia sudah tidak ada lagi di
pulau-pulau bagian barat Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan,
Sulawesi, maupun Lombok. Sementara di wilayah Indonesia Timur, masih terekam
gen Melanesia yang sudah bercampur dengan rumpun Austronesia. Sedangkan suku
Melanesia yang masih asli adalah mereka yang menetap tanpa gangguan di
pedalaman Papua dan masih setia dengan kehidupan dan kebijaksanaan lokal
seperti berburu binatang, berkebun dalam skala kecil, serta hidup dalam
masyarakat kesukuan.
3. Kedatangan Sino-Tibetan, Dravida, dan Semit
Seribu
tahun setelah kedatangan etnis Melayu, peradaban Austronesia juga berkembang
pesat dan melakukan interaksi dengan pedagang dari kebudayaan lainnya termasuk
Dong Son dari Vietnam. Interaksi perdagangan terus berkembang di awal abad
Masehi sehingga masuklah peradaban Dravida, Sino-Tibet, dan Semit.
Fitur wajah Sino
Tibetan
Pada
era modern, Dravida adalah mereka yang kita kenal dengan India, Sino-Tibet
adalah yang kita kenal dengan Tionghoa, dan Semit adalah yang berasal dari Asia
Tengah seperti Arab dan Yahudi. Bangsa Dravida memulai perjalanan ke Nusantara
pada abad 1 Masehi, Sino-Tibetan pada awal abad 3 Masehi setelah dinasti Han
runtuh, dan Semit mulai masuk ke Sumatera pada abad 7 Masehi.
Fitur wajah
Dravida
Kedatangan
bangsa Sino-Tibetan ke nusantara ditandai dengan datangnya biksu Fa Hsien pada
awal abad 5 Masehi dan I Tsing pada 8 Masehi. Gelombang kedatangan pertama
cukup besar datang pada masa pemerintahan Majapahit ketika Wikramawardhana
memperbolehkan semua orang dari berbagai agama maupun ras untuk berdagang dan
menyebarkan agama di Majapahit.
Etnis
Dravida datang secara bertahap seiring dengan semakin berkembangnya perdagangan
di Nusantara. Pengaruh budaya Dravida (India) ini juga terlihat jelas dengan
corak kerajaan Hindu di awal abad masehi. Sementara itu, etnis Semit datang
pertama kali pada abad 7 Masehi untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam.
Sama dengan Dravida dan Sino-Tibet, penduduk etnis Semit juga banyak yang
memiliki menetap dan membaur dengan masyarakat lokal sehingga menambah
keberagaman nusantara.
Fitur wajah Semit
Nah,
bangsa-bangsa ini tidak hanya datang ke Nusantara untuk berdagang, tapi juga
memiliki peran sosial sebagai rohaniwan. Bahkan tidak jarang yang memutuskan
untuk menetap dan menikah dengan orang lokal. Jadi, sejak abad pertama Masehi,
Nusantara bukanlah ekslusif milik bangsa Austronesia atau Melanesia saja.
Sehingga kalau ditanya soal siapakah penduduk ‘pribumi’ Nusantara, tentu cukup
sulit menjawabnya. Karena yang pertama ada di bumi Nusantara justru homo
erectus.
Jika
definisi pribumi merujuk pada manusia modern pertama yang datang ke Nusantara,
maka jawabannya adalah rumpun Melanesia atau yang sekarang merupakan suku-suku
di Papua. Jadi, pada hakikatnya nenek moyang semua manusia yang ada di
Indonesia itu adalah pendatang. Bumi Indonesia dulunya adalah tanah tak bertuan
sampai para pendatang mengklaim tanah tersebut milik mereka dan melewati
kekuasaan para penjajah hingga kini bisa menjadi negara Indonesia yang
multikultur. Jadi, tidak tepat rasanya jika sampai sekarang kita masih saja
membeda-bedakan satu sama lain berdasarkan ras atau etnis mereka.
Salsabila
Tri Gumelar/ 2IB02/ 16418497